Panduan Inovasi Sekolah dengan Design for Change

“Design for Change (DFC) adalah salah satu program pendidikan paling menarik dan penting yang saya ketahui, dengan potensi dampak di banyak negara dan wilaah di seluruh dunia”

Howard Gardner

Panggilannya Ray, seorang siswa difabel dengan kekhususan Tunadaksa. Ray dirumah gemar membaca. Kata orangtuanya, “Ray jika memegang buku di rumah bisa berjam-jam”, “Selain itu ia selalu ditemani makanan kecil,” ucap orang tuanya lagi, melanjutkan percakapan dengan guru Ray.

Siang setelah pembelajaran selesai, orang tua Ray menceritakan kebiasaan anaknya kepada gurunya di sekolah. Namun kebiasaan Ray membaca buku tidak pernah ia tampakan di sekolah. Guru Ray berpikir sejenak. Ia kemudian berguman, “jangan-jangan ada siswa selain Ray yang suka membaca, namun ketika di sekolah tidak nampak.”, “Mengapa perpustakaan sekolah selalu sepi?”, gumannya lagi.

Sang guru dikemudian hari mengumpulkan siswanya, salah satunya adalah Ray. Sang guru bertanya kepada semua siswa. Apakah mereka suka membaca buku? Hampir semua siswa menjawab ia. Dia bertanya lagi, “Apa yang membuat mereka enggan membaca buku di sekolah serta memanfaatkan buku-buku yang ada di perpustakaan?”.

Dari diskusi kelompok tersebut, sang guru meminta masukan kepada semua siswa bagaimana agar mereka mau meluangkan waktu membaca di  perpustakaan sekolah.

“Seringkali untuk mengatasi sebuah masalah, kita hanya memerlukan dua hal: kepekaan dan kepedulian sebagai bahan bakar untuk menciptakan sebuah solusi atau inovasi”

Ketika Kreativitas sudah mati

Alfred Nobel, seorang insinyur serta ahli kimia asal Swedia suatu ketika melakukan penelitian untuk menstabilkan nitroglisering, cairan yang bisa meledak. Dalam beberapa eksperimen di laboratoriumnya, Nobel pernah megalami kegagalan –salah satu diantaranya adalah lab nya pernah meledak yang mengakibatkan saudaranya meninggal.

Setelah peristiwa tersebut, Nobel berusaha dengan keras mencari cara untuk menyimpan cairan agar aman. Ia kemudian mengembangkan formula yang bisa mengatur sebuah ledakan. Hasil temuanya kemudian berhasil mendapatkan paten, pada tahun 1867 temuannya dinamakan dinamit.

Alfred Nobel, Leonardi da Vinci, Steve Jobs meruapakan salah satu sekian kecil penduduk planet ini yang mampu memanfaatkan kreativitas untuk menghasilkan sebuah maha karya yang telah dinikmati oleh seluruh penduduk dunia.

Namun saat ini kreativitas menjadi bahan langka. Kreativitas harusnya bisa dikembangkan dalam ruang lingkup pendidikan, namun tidak berjalan. Kreativitas seperti sebuah cahaya yang dihasilkan oleh sebuah lilin. Tiba-tiba seperti sebuah cahaya sedikit demi sedikit cahaya tersebut redup seirig dengan habisnya lilin.

Kita sebagai seorang pendidik seringkali mematikan kreativitas anak-anak –bahkan kita sendiri tidak paham bagaimana harus menumbuhkan kreativitas.

Sir Ken Robinson dan Lou Aronica dalam bukunya yang berjudul “Creative School” menjelaskan salah satu sebab mengapa kreativita sudah mati, diantara sebabnya adalah pertama, pendidikan formal dibentuk oleh kebutuhan industri. Pendidikan Barat menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan utama –menghasilkan tenaga kerja yang berguna untuk pabrik (industri). Pada tahun 1980an, mereka mengenalkan tes PISA (Programme for International Student Assessment). Kelas sembilan di sekolah-sekolah Barat mewajibkan para siswa untuk menguasai aljabar dasar dan harus membuktikan kemampuannya dengan mengikuti ujian nasional.

Kedua, standarisasi. Pendidikan yang hampir seluruhnya didasarka pada latihan dan tes akan menghancurkan kreativitas siswa dan membuat mereka melepaskan diri. Siswa yang berlepas diri, tidak akan bisa belajar secara maksimal.

Menurut Ken Robinson, kreativitas anak dapat dibentuk jika para guru menjalankan fungsinya sebagai seorang fasilitator. Selain itu sekolah harus dapat memberikan kompetensi inti kepada siswa, dimulai dengan rasa ingin tahu, kreativitas, dan kritik.

Gerakan Design for Change

Revolusi industri mendorong banyak orang untuk menciptakan sebuah penemuan. Mereka menyadari bahwa proses kreatif merupakan ujung tombak dari inovasi. Pada tahun 1940an, teknik kreativitas serta metode desain mulai muncul. John E Arnold, dalam bukunya “Creative Engineering” (1959) dan L Bruce Archer memperkenalkan istilah Design Thinking.

Arnold kemudian memprakarsai Design Thinking di Stanford University. Kemudian di tahn 1991, David M Kelley mengembangkan serta mendistribusikan konsep Design Thinking ke seluruh dunia melalui perusahaan konsultan desain yang ia dirikan, IDEO.

Design Thinking adalah sebuah pendekatan kreatif dan unik, yang digunakan untuk problem solving. Design Thinking mengajak penggunanya berpikir seperti seorang desainer yang sedang menciptakan sebuah solusi, produk, atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya.

Pendekatan Design Thinking selalu menanamkan Creative Confidence kepada semua orang yang menggunakannya –semua orang dapat berpikir seperti seorang desainer. Creative Confidence adalah sebuah keyakinan bahwa semua orang kreatif.

Ada lima tahapan utama Design Thinking: empathy, define, ideate, prototype, dan test.

Seorang desainer sekaligus guru kreatif dan pendiri sekolah bernama Riverside di Ahmedabad, India menerakan metode Design Thinking yang konsepnya disederhanakan menjadi Design for Change (DFC). Kiran menerapkan DCF di Riverside bertujuan untuk memacu kreatifitas siswanya dalam memahami serta memecahkan sebuah permasalahan.

Tahapan Design for Change

“Saya tidak bisa..ini adalah pesan subversif yang setiap hari anak-anak kita dapatkan dari sistem. Ini adalah instruksi terselubuh pada proses pembelajaran sehari-hari ketika mereka dminta untuk melakukan seperti yang sudah diperintahkan, tanpa diberi ruang untuk mengembangkan kreativitas, mendapatkan pilihan, dan menghidupkan opini.”

Kiran Bir Sethi

Konsep Design for Change sudah menjadi gerakan global. Misi DFC adalah memberikan ruang yang lebih kepada siswa untuk mengungkapan isi hati dan ide-ide mereka.

Design for Change terdiri dari beberapa langkah yang disebut dengan FIDS (feel, imagine, do, and share).

Pertama, feels (merasakan). Langkah pertama untuk mencari solusi suatu permasalahan adalah dengan memahami perasaan orang lain dengan cara: observasi, mewawancarai, memilih, atau terlibat.

Kedua, imagine (membayangkan). Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulka ide sebanyak-banyaknya dan membayangka sebuah solusi yang tak biasa. Metode yang bisa dipakai diantaranya: brainstorming, analog.

Ketiga, do (melakukan). Setelah ide-ide terkumpul, kemudian anak-anak memilih salah satu. Ide yang sudah dipilih kemudian dilaksanakan sehingga bisa membuat perubahan. Langkah aksi ini dimulai dengan perencanaan, implementasi, dan refleksi.

Keempat, share (membagikan). Dorong anak-anak untuk membagikan temuan mereka, baik kepada teman sebaya atau orang tua mereka sendiri. Media yang bisa mereka gunakan diantaranya: mading atau buletin sekolah, media sosial dan lain-lain. Pesan dari tahapan ini adalah, anak dapat menujukkan kepada semua orang betapa mudah, menyenangkan menjadi seseorang yang membawa perubahan.

“Pesan dasar yang dicoba disampaikan oleh Design for Change kepada setiap orang adalah anak-anak bukanlah makhluk yang tak berdaya. Perubahan merupakan suatu hal yang mungkin terjadi dan anak-anak pun mampu membuat perubahan tersebut.”

-Kiran Bir Sethi

Design for Change (DFC) mempunyai banyak manfaat. Selain dapat mendorong kreativitas sehingga mereka dapat membuat perubahan, DFC juga dapat membantu siswa menciptakan kolaborasi, berkomunikasi dan berpikir kritis (critical thinking) yang semuanya menjadi bagian penting dalam keterampilan abad 21.

Kesimpulan

Guru dapat menciptakan sebuah perubahan (inovasi) dalam pembelajaran (sekolah) dengan menggunakan pendekatan Design for Change (DFC). DFC dapat memacu kreativitas siswa yang pada akhirnya, dengan kreativitas tersebut para siswa dapat menciptakan perubahan.

Download PPT

Download Poster

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *